Cerpen Pilihan
BAKUNG ORANYE
Bersamaan dengan terkikisnya jarak di antara kalian, kau menyuruh, “Berbalik! “ Ia tidak berbalik, malah melangkah maju menjauhimu. “Uraga! Cepat berbalik!” rengekmu. Namun, pria itu masih tetap pada posisinya. “Kubilang berbalik!”
Sepertinya
ia kasihan mendengarmu merengek. “Diamlah, kau ini suka sekali merengek.” “Aku merengek juga karenamu, benar?” Dia tersenyum, lalu menatapmu lekat. Rautnya penuh
dengan keseriusan. Kamu menyelipkan rambut, guna menutupi gugup. “Hem, kau
menungguku lama sekali, ya?”
Sosok
di depanmu tidak menjawab. “Maaf, sepertinya aku menghabiskan banyak waktu saat
menyisir rambut,” ujarmu, lalu menunduk. Tanpa kamu sadari, dia memperlebar
senyumnya. “Tidak apa, aku juga baru tiba di sini.”
“Benar
....” Kini kau tidak memedulikan perihal pantasnya raut terkejutmu di
hadapannya. Kau lebih peduli pada setangkai mawar merah yang tiba-tiba
disodorkannya. “I ... ni untukku, Uraga? Ah, terima kasih! Kau adalah yang
terbaik!” Tidak,
ini bukan untukmu. Ini milik temanku.” Uraga kembali memasang wajah datar.
“Teman istimewaku, teman yang paling sempurna.”
Kamu
memalingkan wajah, tidak ingin kecewanya terlihat olehnya. “Aku masih bisa
membeli mawar merah lainnya di kedai. Sudahlah Anin, jangan terlalu berharap.” “Aku
bergurau, ini untukmu.” Uraga menyodorkan lagi setangkai mawar itu, sepertinya
ia tak tega melihat raut kecewamu.
“Kau
pasti berbohong.” “Hai!
Jangan menyebutku selayaknya seorang pembohong, ” sungutnya tak terima. “Kau
pikir siapa temanku yang memiliki sempurna,
selain kau?” Kamu menatapnya lekat, kemudian memastikan, “Apa kau
bersungguh-sungguh?”
“Kau
tidak mau? Baiklah, biar kulemparkan bunga ini ke danau.” Matamu membulat lagi,
dengan cepat bunga itu direbutmu. Senyumnya kembali terbit, spontan jemarinya
mengacak suraimu. “Kau ini! Butuh waktu sangat lama untuk merapikannya lagi!
Aku tidak membawa cermin, Uraga!”
Dia
melarikan diri, bersembunyi di balik pohon beringin. Memancingmu untuk bermain.
Saling mengejar di tepi danau, bahkan berayun pada akar beringin. Mimpi indahmu
terwujud hari ini. “Tuhan, terima kasih atas semua ini.”
Hari
berakhir, tetapi kalian masih bersama di sana. Rambutmu yang sudah dikepangnya
rapi, serta setangkai mawar merah yang semakin melayu. Dia berdiri, mengajakmu
untuk pulang. “Dengan mawar merah itu, kuharap kau mengerti tujuanku mengajakmu
ke sini, Anin.”
Benar
saja, ini adalah harimu. Hari yang anindita, sesuai dengan nama dan
mimpi-mimpimu. “Beri aku hari, maka kugunakan untuk memutuskan di setiap
detiknya.” “Kunantikan
jawabanmu besok malam,” serahnya, kemudian merangkulmu. “Ayo pulang, matahari
sudah lelah.”
***
Kamu
menyadari, bahwa mimpi indahmu sudah terwujud. Namun, kamu lupa menyadari
jikalau setiap mimpi
pasti memiliki akhir. Buktinya, air matamu terkuras habis saat ini. Jemarimu
bahkan menggenggam erat pena ditanganmu, sebagai tanda atas marah, kecewa, dan
sedihnya dirimu saat ini. Apa boleh buat? Kau sudah melakukannya.
Kau
pikir setangkai mawar merah pantas untuk menyatakan cinta? Tidak, Uraga. Itu
adalah hal yang sangat kuno. Aku ingin sesuatu yang berbeda! Bawalah sesuatu
yang lebih istimewa, sempurna, sesuai dengan namaku. 2 tahun lagi.
-Anindita
Sekian
detik kamu menahan kesedihan di kantung matamu, berakhir tumpah semuanya. Di
samping itu kamu bersyukur, secarik kertas di tanganmu masih kering, masih sempurna.
Tidak sepertimu. Seketika terbayang sambutan dari Nakula tadi malam. Kau yang
menerima sambutannya, lalu melukis ribuan debu dalam tubuhmu bersamanya.
Bodohnya dirimu, sampai kedua orang tua Nakula mengetahui itu. Kamu merutuk
atas kebahagiaan mereka, yang sukses dengan kelicikan. Juga kedua orang tuamu,
yang bahagia oleh emas dan permata. “Anindita bukan lagi namaku.”
“Anin!
Cepatlah! Nakula sudah menunggumu!” Segera kau seka tangismu, lalu merapikan surai yang
masih dikepang. “Uraga, kuharap kau juga menungguku.” Jemarimu menarik laci,
meraih amplop cokelat dan secepat mungkin memasukkan kertas tadi ke dalamnya.
Terakhir, mawar merah yang amat kau sukai sudah terselip di antara surat itu. “Kutitipkan
bunga ini.”
***
Kau berdiri di sini, tempat di
mana mimpi indahmu terwujud. Pandanganmu berkeliaran, mencari sosok yang sama
dengan sosok yang kau temui di sini, dua tahun lalu. Sampai kau menemukannya,
dia sedang bernaung pada pohon beringin.
“Kumohon terwujudlah, , kumohon.” “Uraga,”
panggilmu, membuatnya berbalik. Tatapan yang sama membuatmu kembali menyisipkan
rambut. Berharap hari ini, akan sama dengan saat itu. “Aku terlambat lagi,
maaf.”
Senyummu merekah dengan terulurnya
tangan Uraga. Sama seperti dulu, ada setangkai unga di sana. Perbedaannya
adalah kali ini, Uraga membawa bunga bakung, oranye. “Pasti bukan untukku.”
Sekali lagi, kau berusaha mengulangi masa itu. Berharap Uraga akan menggodamu
lagi.
“Ini untukmu.” Tangannya terulur, sehingga kau
meraih bakung itu dengan mudah. “Terima kasih! Kau
adalah yang terbaik!” Senyumnya terbit,
tetapi sedikit. “Ayo berayun! Kepang rambutku! Selanjutnya, kau akan
kutangkap!” Benar-benar
seperti mimpi yang terulang. Dia kembali menaburkan kesempurnaan untuk harimu. “Terima
kasih, Tuhan!”
Di penghujung sore, kamu bersandar pada bahunya. “Uraga
... bolehkan aku menjawabnya sekarang?” Dia tak menjawab,
sehingga kamu perlu mengintip. Menyadari seulas senyum kecil muncul, kamu yakin
atas balasannya. “Kau lupa? Aku
memberimu waktu satu hari, dengan ribuan detik untuk berpikir,” ujar Uraga,
menegakkan duduknya. Kamu menjauhkan
kepalamu saat tumpuannya menolak. “Te-tetapi, kau mengajakku ke sini. Ah, kau
pasti bercanda lagi, ‘kan?” “Kali ini tidak.”
Saat kau tidak menangkap raut bergurau, kau
tersadar. “Ti-tidak mungkin. Ada apa denganmu, bukankah kau mencintaiku?
Bagaimana dengan bunga ini?” Kali ini Uraga
berdiri. Ia menatap matahari yang semakin menenggelamkan diri. “Ya, aku mencintaimu.”
Jawaban yang membuatmu lega, tetapi Uraga kembali berkata, “Dulu, dan tidak
untuk sekarang.”
Jemarimu mengusap pipi yang basah. “Bohong! Kau
berbohong! Ini pasti gurauan! Bunga ini buktinya!” elakmu yang berusaha
menggapai lengannya. Uraga menipis tanganmu. “Kau pikir apa tujuanku memberikan
bakung oranye itu?” sinisnya. Setelah bersusah
payah meneguk ludah, kau menjawab, “Kau membaca suratku, lalu mencari bunga
yang lain supaya tidak terlihat biasa saja, iya ‘kan!”
Pujaan
hatimu menahan tawa rajanya. “Kau kehilangan akal, ya! Singkirkan
tanganmu, Bodoh!” Manikmu berkaca-kaca, tidak percaya atas apa yang
baru saja kau dengar. “Ada apa denganmu, Uraga? Apa kau sakit? Ya, kau pasti
sakit. Aku akan merawatmu, kemarilah!” Sekali lagi, kau menerima
tepian darinya. “Menyingkir! Aku akan pergi! Jangan pernah menggangguku lagi!”
“Tidak! Uraga! Jangan pergi, Uraga! Kubilang jangan
pergi! Uraga!” Sia-sia, pria itu
enggan mendengarkan teriakanmu. Jemarimu meremas erat bakung itu. “Kumohon!
Seseorang atau siapa saja yang mengetahui makna bakung oranye! Datanglah
kemari!”
Kau mencubit pipi, mengacak rambut, menampar wajah,
untuk memastikan kebenaran tentang hari ini. Hasilnya membuatmu kecewa, marah,
dan bersedih. Namun, tidakkah kamu lihat apa yang dikatakan sorot matanya tadi?
Tidak jauh berbeda darimu bukan?
Pada akhirnya, kamu mengunjungi kedai bunga. Di
mana patah hati terbesarmu terjadi. Saat kamu kembali melupakan, bahwa apa yang
kamu pilih saat itu, adalah kesalahan. Sampai akhir hidupmu, kalimat wanita
penjual bunga akan selalu terngiang.
“Bunga bakung oranye mengartikan kekecewaan, hanya
itu yang bisa kusampaikan. Pergilah, kami akan tutup.”
Bukanlah hal yang
baik mengecewakan seseorang, bukanlah hal buruk membenci seseorang atas
kecewamu.”
Komentar
Posting Komentar