Cerpen Pilihan


BAKUNG ORANYE

Karya  Rizqi Auliawati 

Bersamaan dengan terkikisnya jarak di antara kalian, kau menyuruh, “Berbalik! “   Ia tidak berbalik, malah melangkah maju menjauhimu. “Uraga! Cepat berbalik!” rengekmu. Namun, pria itu masih tetap pada posisinya. “Kubilang berbalik!”

Sepertinya ia kasihan mendengarmu merengek. “Diamlah, kau ini suka sekali merengek.” “Aku merengek juga karenamu, benar?” Dia tersenyum, lalu menatapmu lekat. Rautnya penuh dengan keseriusan. Kamu menyelipkan rambut, guna menutupi gugup. “Hem, kau menungguku lama sekali, ya?”

Sosok di depanmu tidak menjawab. “Maaf, sepertinya aku menghabiskan banyak waktu saat menyisir rambut,” ujarmu, lalu menunduk. Tanpa kamu sadari, dia memperlebar senyumnya. “Tidak apa, aku juga baru tiba di sini.”

“Benar ....” Kini kau tidak memedulikan perihal pantasnya raut terkejutmu di hadapannya. Kau lebih peduli pada setangkai mawar merah yang tiba-tiba disodorkannya. “I ... ni untukku, Uraga? Ah, terima kasih! Kau adalah yang terbaik!” Tidak, ini bukan untukmu. Ini milik temanku.” Uraga kembali memasang wajah datar. “Teman istimewaku, teman yang paling sempurna.”

Kamu memalingkan wajah, tidak ingin kecewanya terlihat olehnya. “Aku masih bisa membeli mawar merah lainnya di kedai. Sudahlah Anin, jangan terlalu berharap.”  “Aku bergurau, ini untukmu.” Uraga menyodorkan lagi setangkai mawar itu, sepertinya ia tak tega melihat raut kecewamu.

“Kau pasti berbohong.” “Hai! Jangan menyebutku selayaknya seorang pembohong, ” sungutnya tak terima. “Kau pikir siapa temanku yang memiliki sempurna,  selain kau?”  Kamu menatapnya lekat, kemudian memastikan, “Apa kau bersungguh-sungguh?”

“Kau tidak mau? Baiklah, biar kulemparkan bunga ini ke danau.” Matamu membulat lagi, dengan cepat bunga itu direbutmu.  Senyumnya kembali terbit, spontan jemarinya mengacak suraimu. “Kau ini! Butuh waktu sangat lama untuk merapikannya lagi! Aku tidak membawa cermin, Uraga!”

Dia melarikan diri, bersembunyi di balik pohon beringin. Memancingmu untuk bermain. Saling mengejar di tepi danau, bahkan berayun pada akar beringin. Mimpi indahmu terwujud hari ini. “Tuhan, terima kasih atas semua ini.”

Hari berakhir, tetapi kalian masih bersama di sana. Rambutmu yang sudah dikepangnya rapi, serta setangkai mawar merah yang semakin melayu. Dia berdiri, mengajakmu untuk pulang. “Dengan mawar merah itu, kuharap kau mengerti tujuanku mengajakmu ke sini,  Anin.”

Benar saja, ini adalah harimu. Hari yang anindita, sesuai dengan nama dan mimpi-mimpimu. “Beri aku hari, maka kugunakan untuk memutuskan di setiap detiknya.” “Kunantikan jawabanmu besok malam,” serahnya, kemudian merangkulmu. “Ayo pulang, matahari sudah lelah.”

***

Kamu menyadari, bahwa mimpi indahmu sudah terwujud. Namun, kamu lupa menyadari jikalau setiap mimpi pasti memiliki akhir. Buktinya, air matamu terkuras habis saat ini. Jemarimu bahkan menggenggam erat pena ditanganmu, sebagai tanda atas marah, kecewa, dan sedihnya dirimu saat ini. Apa boleh buat? Kau sudah melakukannya.

Kau pikir setangkai mawar merah pantas untuk menyatakan cinta? Tidak, Uraga. Itu adalah hal yang sangat kuno. Aku ingin sesuatu yang berbeda! Bawalah sesuatu yang lebih istimewa, sempurna, sesuai dengan namaku. 2 tahun lagi.

-Anindita

Sekian detik kamu menahan kesedihan di kantung matamu, berakhir tumpah semuanya. Di samping itu kamu bersyukur, secarik kertas di tanganmu masih kering, masih sempurna. Tidak sepertimu. Seketika terbayang sambutan dari Nakula tadi malam. Kau yang menerima sambutannya, lalu melukis ribuan debu dalam tubuhmu bersamanya. Bodohnya dirimu, sampai kedua orang tua Nakula mengetahui itu. Kamu merutuk atas kebahagiaan mereka, yang sukses dengan kelicikan. Juga kedua orang tuamu, yang bahagia oleh emas dan permata. “Anindita bukan lagi namaku.”

“Anin! Cepatlah! Nakula sudah menunggumu!”  Segera kau seka tangismu, lalu merapikan surai yang masih dikepang. “Uraga, kuharap kau juga menungguku.” Jemarimu menarik laci, meraih amplop cokelat dan secepat mungkin memasukkan kertas tadi ke dalamnya. Terakhir, mawar merah yang amat kau sukai sudah terselip di antara surat itu. “Kutitipkan bunga ini.”

***    

Kau berdiri di sini, tempat di mana mimpi indahmu terwujud. Pandanganmu berkeliaran, mencari sosok yang sama dengan sosok yang kau temui di sini, dua tahun lalu. Sampai kau menemukannya, dia sedang bernaung pada pohon beringin.

“Kumohon terwujudlah, , kumohon.”  “Uraga,” panggilmu, membuatnya berbalik. Tatapan yang sama membuatmu kembali menyisipkan rambut. Berharap hari ini, akan sama dengan saat itu. “Aku terlambat lagi, maaf.”

Senyummu merekah dengan terulurnya tangan Uraga. Sama seperti dulu, ada setangkai  unga di sana. Perbedaannya adalah kali ini, Uraga membawa bunga bakung, oranye. “Pasti bukan untukku.” Sekali lagi, kau berusaha mengulangi masa itu. Berharap Uraga akan menggodamu lagi.

Ini untukmu.” Tangannya terulur, sehingga kau meraih bakung itu dengan mudah.  Terima kasih! Kau adalah yang terbaik!” Senyumnya terbit, tetapi sedikit. “Ayo berayun! Kepang rambutku! Selanjutnya, kau akan kutangkap!” Benar-benar seperti mimpi yang terulang. Dia kembali menaburkan kesempurnaan untuk harimu. “Terima kasih, Tuhan!”

Di penghujung sore, kamu bersandar pada bahunya. “Uraga ... bolehkan aku menjawabnya sekarang?” Dia tak menjawab, sehingga kamu perlu mengintip. Menyadari seulas senyum kecil muncul, kamu yakin atas balasannya. “Kau lupa? Aku memberimu waktu satu hari, dengan ribuan detik untuk berpikir,” ujar Uraga, menegakkan duduknya. Kamu menjauhkan kepalamu saat tumpuannya menolak. “Te-tetapi, kau mengajakku ke sini. Ah, kau pasti bercanda lagi, ‘kan?” “Kali ini tidak.”

Saat kau tidak menangkap raut bergurau, kau tersadar. “Ti-tidak mungkin. Ada apa denganmu, bukankah kau mencintaiku? Bagaimana dengan bunga ini?” Kali ini Uraga berdiri. Ia menatap matahari yang semakin menenggelamkan diri. “Ya, aku mencintaimu.” Jawaban yang membuatmu lega, tetapi Uraga kembali berkata, “Dulu, dan tidak untuk sekarang.”

Jemarimu mengusap pipi yang basah. “Bohong! Kau berbohong! Ini pasti gurauan! Bunga ini buktinya!” elakmu yang berusaha menggapai lengannya. Uraga menipis tanganmu. “Kau pikir apa tujuanku memberikan bakung oranye itu?” sinisnya. Setelah bersusah payah meneguk ludah, kau menjawab, “Kau membaca suratku, lalu mencari bunga yang lain supaya tidak terlihat biasa saja, iya ‘kan!”

 Pujaan hatimu menahan tawa rajanya. “Kau kehilangan akal, ya! Singkirkan

tanganmu, Bodoh!” Manikmu berkaca-kaca, tidak percaya atas apa yang baru saja kau dengar. “Ada apa denganmu, Uraga? Apa kau sakit? Ya, kau pasti sakit. Aku akan merawatmu, kemarilah!” Sekali lagi, kau menerima tepian darinya. “Menyingkir! Aku akan pergi! Jangan pernah menggangguku lagi!”

“Tidak! Uraga! Jangan pergi, Uraga! Kubilang jangan pergi! Uraga!” Sia-sia, pria itu enggan mendengarkan teriakanmu. Jemarimu meremas erat bakung itu. “Kumohon! Seseorang atau siapa saja yang mengetahui makna bakung oranye! Datanglah kemari!”

Kau mencubit pipi, mengacak rambut, menampar wajah, untuk memastikan kebenaran tentang hari ini. Hasilnya membuatmu kecewa, marah, dan bersedih. Namun, tidakkah kamu lihat apa yang dikatakan sorot matanya tadi? Tidak jauh berbeda darimu bukan?

Pada akhirnya, kamu mengunjungi kedai bunga. Di mana patah hati terbesarmu terjadi. Saat kamu kembali melupakan, bahwa apa yang kamu pilih saat itu, adalah kesalahan. Sampai akhir hidupmu, kalimat wanita penjual bunga akan selalu terngiang.

“Bunga bakung oranye mengartikan kekecewaan, hanya itu yang bisa kusampaikan. Pergilah, kami akan tutup.”

 

Bukanlah hal yang baik mengecewakan seseorang, bukanlah hal buruk membenci seseorang atas kecewamu.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer